Hujan-hujan Slamet

Posted on Updated on

“I believe you still have the spirit and soul of Laura in your heart, my bestie.”

Basecamp Gupala di Guci sehabis hujan, sore 18 Oktober 2022. Bila cerah, di kejauhan di bagian langit yang putih di foto ini, tampak puncak Gunung Slamet yang botak. (noviabdi)

Pada bulan Oktober, tidak banyak orang yang ingin mendaki Gunung Slamet, gunung yang puncaknya ada di ketinggian 3.432 meter dari permukaan laut.

Pada bulan Oktober, hujan turun sesukanya, membuat aktivitas paling menyenangkan itu, antara lain, menyesap kopi atau cokelat panas atau teh hangat sambil membaca buku dan mendengarkan musik jazz—setidaknya mungkin begitu bagi kawan saya Shinta Maharani di Jogja sana.

Jadi, bukan naik gunung. Apalagi gunung tertinggi di Jawa Tengah. Apalagi pintu pendakian di Baturaden juga ditutup, gerbang Kaliwadas juga dikunci.

“Maaf mas, cuaca ekstrem. Hujan dan kabut terus menerus sepekan terakhir,” kata Wandi di basecamp Kaliwadas.

Tapi saya punya satu nomor lagi untuk dihubungi. Jawaban Obenk sungguh menyenangkan.

“Jalur tetap buka. Cuaca cerah.”

Maka malam itu saya sudah tidur di basecamp Gupala yang lapang karena tak ada yang lain yang ingin mendaki Slamet di akhir pekan itu kecuali saya.

Gupala adalah Guci Pencinta Alam. Ada kata Edelweis juga di depannya. Jadi nama lengkapnya Edelweis Guci Pencinta Alam, atau Edelweis Gupala. Anggotanya para pemuda Desa Guci, Kecamatan Bumijawa, Kabupaten Tegal. Mereka adalah pemelihara jalur pendakian yang bermula di desa itu, bersama dengan kelompok pemuda lainnya yang menamakan diri Kompak. Jalur Gupala dan Jalur Kompak berbeda awalan, namun bertemu di batas hutan pinus sebelum memasuki jalan berbatu yang melintasi ladang-ladang penduduk.

Gupala resmi berdiri 1992, tetapi para senior Obenk sudah bolak-balik mendaki Slamet jauh sebelum itu. Mereka bahkan pernah punya pondok di ketinggian sekitar 2.900 m di dekat batas vegetasi. Namanya Pondok Edelweis.

“Sekarang sudah ndak ada. Kayunya banyak diambil buat bikin unggun,” kata Obenk, yang bertutur dalam bahasa Jawa-Tegalan. Saya langsung ingat pelawak Cici dengan inyongnya.

Bagi kebanyakan kita, saya yakin, logat itu terdengar lucu. Karena itulah, Cici percaya diri dan sukses jadi pelawak, bukan?

Sabtu pagi, hujan lebat mengguyur Guci. Saya berdoa diberikan keselamatan, kesehatan badan, dan kemurahan rezeki. Sarapan nasi campur di warung tegal Bu Eli itu pun nikmat sekali. Ada lauk ikan tongkol, hahaha.

Di atas gunung ini ada ikan laut, masya Allah, nikmat yang mana lagi yang engkau dustakan wahai manusia?

Menjelang tengah hari, hujan lebat berganti gerimis kinyis-kinyis. Saya mulai langkah kanan dengan carrier 75 liter di punggung, dan berpayung. Saya jadi ingat Kerinci, juga Kinabalu.

Isinya carrier itu ya peralatan tidur, peralatan masak, sedikit bekal buat dimasak, 2 pasang pakaian ganti, dan beberapa perlengkapan lain, termasuk obat-obatan, dan 6 liter air yang tersebar di sejumlah botol dan kantong air. Berat carrier itu mungkin 15 kg.

Di awal pendakian seperti ini ultralight style bukan gaya yang cocok untuk saya yang selalu khawatir ini itu. Tapi di tengah jalan, saya bisa sebaliknya, ultimate ultralight.

Karena memulai baru tengah hari, saya bilang pada Omenk yang piket hari itu di basecamp, saya kemungkinan besar akan ngecamp, mendirikan tenda di Pos 2. Lewat Pos 2 saya pasti akan kemalaman untuk menuju Pos 4 atau Mata Air yang ada di ketinggian 2.578 m, tempat biasa para pendaki menginap. Pos 4 ini lebih kurang 3 jam lagi dari puncak. 

Saya tak sanggup membayangkan diri sendiri tersuruk-suruk berjalan dalam gelap dengan beban segede drum di punggung seberat 15 kg, hanya untuk nyaman berada di dekat mata air.

Untuk itulah saya bawa 6 liter air itu, yang kurang lebih beratnya ya 6 kg, tapi memberi saya kebebasan mau berhenti di mana saja tempat yang memungkinkan untuk pasang tenda.  

Kata Omenk sambil menyerahkan pada saya sebuah Handy Talkie (HT), ada 4 orang yang juga mendaki hari ini dari basecamp Kompak. Jadi saya tidak benar-benar sendirianlah.

Limapuluh meter dari basecamp, serombongan murid SD merendengi jalan saya. Ramai mereka bertanya apa saja. Saya juga menanyai mereka apa saja.

“Om sendirian?” tanya Muhammad Rizky, murid Kelas V SDN 001 Guci. Pertanyaan Rizky adalah pertanyaan klasik untuk saya. FAQ, frequently asked questions, bersamaan dengan pertanyaan tentang rambut: apakah gimbal ini asli atau tidak, kalau asli, bagaimana merawatnya, …

“Oh tidak. Saya kan bareng kalian ini,” kata saya. Anak-anak itu tertawa.

Sekeluar dari basecamp Gupala, jalan sudah menanjak dan saya jalan pelan saja. Menjelang pemandian air panas, satu per satu anak-anak memisahkan diri karena sampai di rumahnya masing-masing atau masuk jalan dan gang menuju rumahnya.

Tak ada lagi anak-anak SD itu, saya masuk keramaian pasar dan tempat wisata air panas Guci. Selintas saya merasa seperti di Namchee Bazaar di trek menuju basecamp Everest di Nepal, kecuali di sini orang berjualan bakso dan mi ayam di mana-mana. Juga pakaian berupa kaus dan daster dan kupluk.

Tapi di manakah gerbang pendakian? Ah hahaha. Nah.

Saya sudah keluar pasar di ujung satunya, sudah turun dan melewati jembatan, tapi di mana itu gerbang?

Saya pun melihat peta yang diberikan teman-teman Gupala. Di peta tidak ada tertera pasar ini, tapi ada tertulis Pemandian Air Panas Guci. Tidak ada tanda X atau larangan untuk mengambil jalan di depan pemandian air panas.

Weh, weh, menarik sekali ini. Saya sudah kehilangan orientasi bahkan sebelum masuk trek pendakian. Maka saya telponlah Obenk. Tak diangkat. Sekali lagi, tak diangkat juga. Saya WA, terkirim tapi tak terbaca—tentu saja.

Mari bertanya pada sekian orang yang ada di depan saya ini. Dekat jembatan, ada pangkalan tukang ojek. Saya pun bertanya pada satu-satunya tukang ojek yang mangkal di situ pada waktu itu.

“Oh ke situ, itu mas,” katanya menunjuk jalan raya yang terus menanjak di gerbang pemandian air panas. Tapi saya tidak yakin dengan arahan tukang ojek ini. Maka saya tanya satu orang lagi, kali ini si mbak penjaga loket karcis masuk pemandian air panas.

“Oh masnya terus aja. Nanti ketemu Indomaret. Ikuti saja jalannya, jalan aspal seperti ini, nanti ada basecamp-nya di kiri jalan.”

Basecamp? Hahaha—wah, wah, saya nyasar ke Kompak ini. Pasti.

Setidaknya dengan bertanya kepada orang-orang di basecamp Kompak tentu informasinya lebih sahih ketimbang dari abang ojek tadi, ya kan.

Saya ikuti petunjuk si mbak. Di depan terminal saya bertanya sekali lagi pada seorang anak muda yang duluan tersenyum pada saya. Dia pendaki juga ternyata. Arahannya sama dengan si mbak penjual karcis.

Azan zuhur berkumandang dari masjid di pojok pasar-terminal Guci. Jadi ini waktunya break isoma. Untunglah air wudhu di Musala Nurul Falah ini ada hangat-hangatnya sedikit. Usai salat, karena belum terlalu lapar, saya hanya makan wafer cokelat yang memang sudah saya siapkan sebelumnya, dan minum dari menyedot air yang tersimpan di kantong belakang carrier.

Tak jauh dari musala itu tampak basecamp Kompak. Ada seseorang keluar dan menghidupkan motor. Belum lagi motornya hidup, saya menyapa dan bertanya di mana pintu rimba gerbang pendakian.

“Tinggal ikuti jalan ini mas, nanti ketemu di sebelah kiri.”

Okehhh. Terimakasih. Dia barangkali buru-buru, tidak bertanya apa-apa. Saya pun lanjut jalan pelan.

Gerimis pun turun kembali. Tiba-tiba ada yang merendengi saya lagi dan menyapa.

“Masnya mau ke mana? Kalau mau mendaki, sudah daftar belum?”

Walahh, iya. Andi dari basecamp Kompak juga. Pendaki lewat basecamp kok tidak mampir dan melapor.

Saya pun bercerita sedikit, termasuk kenapa saya sampai nyasar ke Kompak itu, hahaha. Saya menunjukkan pada Andi tiket pendakian yang saya dapat dari Gupala.

“Owalah mas, mestinya sampeyan langsung belok kanan di depan lapangan sepakbola di kanan jalan itu tadi,” kata Andi. Setelah Basecamp Gupala-Kantor Lurah, memang ada lapangan sepakbola. Saya keterusan naik dan ke kiri.

Suatu saat kelak mungkin saya akan simpan kuitansi permit Everest, hehehe

Tapi tidak apa. Itu setelah tanjakan sudah kelihatan gerbang pendakian jalur Kompak. Ikuti saja jalur itu, nanti ketemu juga jalur Gupala. Andi pun mengucapkan selamat jalan dan minta saya selalu melaporkan posisi dan kondisi lewat HT yang dibekalkan teman-teman Gupala.

Setelah melewati jembatan, persis di depan gerbang pendakian jalur Kompak, hujan turun dengan lebatnya. Saya pun kembali mengembangkan payung oranye bertuliskan PKT itu.

Jalan setapak menjadi anak sungai. Menurut Andi, jalur pendakian di awal ini banyak bercabang, tapi selama tidak ada tanda peringatan, maka aman saja, artinya tidak membawa ke mana-mana kecuali kembali ke jalur semula. Tanda-tanda peringatan ada di kanan atau kiri jalur, berupa pelat seng yang dicat hitam dengan tulisan Kompak putih, dibuatkan oleh sponsor Teh Poci.

Perjuangan saya di awal pendakian ini adalah menyesuaikan payung dan kacamata yang berembun kena embusan napas. Payung lipat atau payung yang tangkainya model teleskopik ternyata bisa memberi masalah tersendiri. Payung saya, sepertinya kehilangan sesuatu di dalam tangkainya itu, sehingga ketika payung dibuka maksimal dengan tangkai terpanjangnya, tak ada yang menahan posisi tangkai itu untuk payung tetap terbuka. Lepaskan tanganmu yang mendorong agar terbuka, maka si payung kembali menguncup. Dalam proses dorong mendorong tahan menahan itu, si payung membuat goresan agak dalam di telunjuk kiri saya. Asin keringat pun bercampur asinnya darah dan sepat air hujan.

Saat lewat pasar tadi, saya minta di sebuah warung barang 2 bilah tusuk gigi. Gunanya tusuk gigi itu untuk menjadi pasak penahan kembangan payung. Pasak itu dimasukkan di lubang yang tersedia. Tapi setelah buka tutup berapa kali, saya sudah kehilangan dua tusuk gigi andalan tadi. Susah mencari penggantinya di jalan di bawah hujan dengan kacamata berembun.

Maka, setelah beberapa lama, seiring hujan yang mereda, saya lipat sajalah payung itu dan menyelipkannya di kantong samping carrier. Saya pun berjanji dalam hati untuk beli payung mahal-bagus-kuat sekalian, walaupun sebenarnya payung-payung ‘sponsor’ seperti itu tidak jelek juga kualitasnya. Hanya saya salah memakainya. Payung seperti itu kan efektif hanya untuk menyeberang dari satu gedung ke gedung lainnya dalam kompleks perkantoran, bukan untuk menelusuri jalan setapak di tengah hutan seperti yang saya lakukan sekarang. Juga bukan untuk menembus hujan selebat ini.

Barangkali untuk berpayung berdua melarikan diri hujan-hujanan dengan si-butet-mirip-kak-louise-deredia-di-lagu gembira-feat alsant-nababan dari kantornya yang jahat itu juga boleh, kata benak saya. Saya pun tertawa sendiri. Kalau untuk petualangan seperti itu, kayaknya lebih baik pakai payung yang andal juga deh, ya kan.

Sebentar, masa sih dia mirip Louise-Deredia? Dia memang suka menyanyi dan suaranya bagus. Hmmm, … mungkin Audrey dari Gamaliel-Audrey-Cantika lebih dekat. Aduhhh, ada Cantika juga. Nah, seperti itulah dia kira-kira, peragu seperti Cantika, dalam tubuh dan aura Audrey yang perkasa. Punya banyak keinginan, terutama melihat dunia dan berpetualang di alam bebas, tapi takut meninggalkan rumah keongnya.  Makanya dia perlu diculik dari kantornya, Sobat.

Tiba-tiba saya iri dengan Gamaliel, yang dengan mudahnya menjemput Cantika dan Audrey untuk menjalani petualangan yang kurang bertanggung jawab—menurut saya paling tidak.

Ah, hahaha …

(iya bersambung minggu depan man-teman)

***

Catatan kaki:

Karena hujan, saya tak banyak memotret. dan foto yang sedikit itu kemudian hilang ditelan cloud. Untuk sekedar pelipur kesal karena tak menyimpan dengan baik, saya tampilkan GAC aja ya, hehehe … O iya, yang saya sebut Gamaliel agak kurang bertanggungjawab itu ada di video klip lagu Galih dan Ratna.

Dan biar juga kalian tak penasaran, ini kak Louise dan Deredia feat Alsant Nababan

Tinggalkan komentar