Month: Oktober 2017

Welcome to the Jungle

Posted on Updated on

Gunung Kerinci, tegak sendiri, menjulang lebih kurang 2.500 meter dari ketinggian Base Camp. (novi abdi)

Pergilah ke Barat, anakmuda, dan tumbuhlah bersama alam–Horace Greeley–ini bagian ketiga dari Kerinci.

Berbarengan  anak-anak yang berangkat sekolah dengan ceria, kami berangkat menuju gunung, juga dengan ceria. Saya berkata pada Johan bahwa saya akan berjalan dengan irama saya sendiri, yang sepertinya akan lebih lambat daripada Baba dan kawan-kawannya.

“Saya turis Jon, yang kebetulan suka naik gunung,” kata saya. Johan tertawa.

Rombongan Baba bergerak cepat karena membagi bebannya dengan porter yang disediakan Johan. Selain Johan, ada satu pemandu lagi, anak muda yang penyabar yang menyebut dirinya Fander Christopher. Mereka sudah punya persediaan logistik di gunung. Juga sudah ada akomodasi tenda di Shelter 3, tempat orang biasa memulai summit attack.

Saya pinjamkan satu tongkat berjalan saya untuk satu kawan perempuan grup Malaysia itu. Johan ternyata kehabisan gas yang dijanjikannya. Tak apalah, saya kan punya 7 tablet parafin. Sekali masak satu tablet, cukup.

Pukul 08.30 kami memulai perjalanan pada ketinggian 1600 meter. Seperti yang saya katakan pada Johan, saya jalan santai dengan beban sekitar 15 kg di punggung dan 3 kg di depan. Seperti di Rinjani, saya ingin menikmati setiap langkah tanpa harus diburu-buru waktu.

Dari jalan beraspal kasar ujung kebun teh, pendaki masuk ke jalan tanah berbatu-batu (barangkali dulu bekas jalan aspal juga) yang sedikit menanjak, dan sebentar kemudian disambut sebuah bangunan yang tampak tak terawat. Rumput tinggi tumbuh di sekelilingnya. Dindingnya yang berwarna putih penuh coretan dan gambar-gambar. Siapa yang suka membawa-bawa cat semprot sampai jauh ke kaki gunung ini?

welcome kerinci
Ucapan selamat datang dari pengelola Taman Nasional Kerinci Seblat–sudah ditulis begitu, jadi mungkin gak perlu lagi hadir orangnya, hehehe. (foto: TNKS)

Ini Pos Jaga dari petugas Taman Nasional Kerinci-Seblat. Biasa disebut juga R10. Di sini juga mestinya pendaki mendaftarkan diri dengan mengisi beberapa formulir, dan mungkin bayar bea masuk Taman Nasional.

Tapi tidak ada petugas di situ. Posnya juga terkunci. Apakah karena hari masih pagi? Atau sekarang memang tak pernah buka lagi?

Saya bertemu rombongan lain di situ. Empat anak muda yang asyik berfoto di bawah atap, yang di atasnya ada tulisan selamat datang. Saya lewat dan tersenyum dan terus jalan pelan.

Dari awal jalan berbatu sampai pos itu membentang kebun-kebun milik penduduk. Mereka menanam kol, kentang, tomat, bawang merah, lobak, cabai, dan juga jagung. Kebun yang tampak subur di ketinggian 1600 meter.

“Masalah kami di sini bukan kesuburan tanah, atau hama penyakit. Tapi penjualan hasil bumi ini,” kata Parman. Petani ini sedang mengangkut pupuk dengan motornya, lalu berhenti untuk menyeimbangkan beban ketika saya mendekat.

Saat panen, masa yang dinantikan petani, bisa tidak berarti apa-apa sebab harga komoditas yang mereka tanam jatuh karena pasokan yang melimpah.

Kentang yang baru dipanen di Kayu Aro. Antara

***

Sebagian kebun terlihat baru selesai dipanen dan lahan dibersihkan kembali untuk tanaman baru. Karung-karung pupuk ditaruh di pinggir jalan. Dan jalan ke kebun-kebun itu lebih jelas dan lebih terawat, tentu saja, daripada jalan ke gunung, persis seperti di awal pendakian ke Semeru.

Lebih kurang setengah jam dari R10, dalam lilitan tanaman merambat dan ditemani sejumlah papan pengumuman dan peringatan, Pintu Rimba Kerinci mengapit jalan setapak menuju hutan yang tampak gelap. Sebuah tong sampah yang penuh dan sampahnya meluber ada di kiri jalan.

Tong sampah itu pastilah disediakan untuk para pendaki membuang sampahnya setelah membawanya turun dari gunung. Tapi dari tong sampah itu rupanya tak ada lagi orang yang mengangkutnya hingga ke tempat pembuangan akhir. Apakah tong sampah itu ada karena dulu kendaraan bisa sampai pintu rimba ini dengan mudah sebab jalannya dulu beraspal?

“Welcome to the jungle, babe, …” Suara Axl Rose dan intro khas dari gitar yang dimainkan Slash di lagu Guns N’ Roses itu terngiang-ngiang di telinga saya. Saya pun masuk dalam bayangan hutan. Udara menjadi sejuk dan tanah jalan setapak itu lunak sebab hujan. Di beberapa tempat air menggenang dan jalan becek.

 

Bersama Elsa Pitaloka, Hilang Bisiak Manjo

Posted on Updated on

Elsa Pitaloka, mendayu-dayu sampai Kayu Aro.

 

Perjalanan 249 km via Jalan Alahan Panjang dari Padang ke Kayu Aro berlangsung meriah dan mendayu-dayu sekaligus. Ini bagian kedua.

Mitsubishi L-300 ini full musik sepanjang jalan. Bung Supir memutar lagu-lagu minang populer dengan penyanyi seorang perempuan.

“Ini Elsa Pitaloka, Bang. Judulnyo Hilang Bisiak Manjo,” kata Bung Supir.

Sebelumnya tadi Janji Hanyo Janji, lalu berikutnya Mudah Bakato Cinto, … dari kumpulan rekaman compact disk The Best of Elsa Pitaloka.

Saya sempatkan bertanya soal musik sepanjang jalan itu di perhentian makan setelah lebih kurang 3 jam kami berlepas dari Padang. Elsa Pitaloka, kata Bung Supir, pernah coba berkarir di Jakarta, tapi kecintaannya pada lagu-lagu minang tak terkalahkan sehingga kembali ke kampuang halaman dan fokus hanya menyanyi lagu minang.

“Urang Bukittinggi jo,” kata Bung Supir. Saya merasa harus tahu Elsa karena menerima nasib duduk di depan speaker sebelah kanan yang ditaruh di depan kursi paling belakang.

Sepanjang jalan suaranya maimbau-imbau dan wajah cantiknya berurai mata, yang kami saksikan dari monitor yang digantung di kaca depan. Kenapa orang cantik hidupnya tragis, kata saya dalam hati, sambil geli sendiri. Tentu saja itu mungkin hanya akting penghayatan Elsa pada lagunya.

Tempat kami mampir makan ini ada di Muara Labuh di Kabupaten Solok Selatan. Halamannya luas, barangkali lebarnya seratus meter dan panjang hingga ke musala di pojok sana ada seratuslimapuluh meter lebih. Warungnya sendiri didirikan di tepi utara, limapuluh meter dari jalan, warung kayu sederhana dengan dikapur putih berleres kuning. Warung yang menyediakan indomie dengan segala cara masaknya yang murah meriah selain jua nasi goreng.

Saya berkenalan dengan Khairul Shafee dan Rosalia Apin, dan yang lain-lain kawan seperjalanan dari Malaysia itu. Mereka berangkat dari Kuala Lumpur (KL). Kak Ros, hahaha, demikian saya memanggil Rosalia, bermobil dari Ranau ke Kota Kinabalu (KK), Sabah, lalu terbang dari KK ke KL. Khairul Shafee, atau akrab dengan nama panggilan Baba, juga asal sebuah kampung di pedalaman Sabah, namun sudah lama ia merantau ke KL untuk bekerja. Selain itu ada 2 perempuan muda yang berkerudung, dan Azim dan Cha Mark, dan seorang laki-laki lagi yang suka pakai pomade.

Barangkali karena merasa sama berasal dari pulau kucing besar ini, saya dan Kak Ros dan Baba jadi cepat akrab.

“Barangkali juga sebab usia,” kata Kak Ros, seorang guru di pekan Ranau. Tak dapat disangkal, di dalam rombongan ini kami bertigalah yang usianya paling banyak, hahaha.

Karena Bung Supir ‘menolak’ untuk mengecilkan volume suara Elsa, maka apa boleh buat, kami pun bercakap-cakap dengan suara keras. ‘Menolak’ itu dalam tanda kutip, kawan, karena ketika diminta, Bung Supir mengecilkan volumenya, dan kita nyaman bercakap-cakap. Tapi, tiap percakapan ada jedanya juga bukan, barangkali satu dua menit kita terdiam sampai menemukan topik berikutnya, atau menyambung topik semula. Tapi terdiam selama itu sudah cukup bagi Bung Supir untuk mengembalikan volume Elsa Pitaloka ke level yang disukainya.

“Bilo kecik suaranyo, mangantuak aku, Bang,” katanya. Oh, … baiklah.

Maka kami pun menyerah, dan mengalihkan perhatian ke luar jendela. Hijau persawahan dan Danau Kembar yang menguasai pemandangan saat melintasi Solok, dipandang dengan takjub.

Jalan antarkabupaten antarprovinsi ini mulus beraspal hotmix. Kami masih berhenti sekali lagi untuk rehat sejenak dan buang air. Mobil berhenti di kota kecil di perbatasan Sumatera Barat-Jambi. Saya sempatkan mencari gas dalam tabung kecil untuk kompor lapangan, dan setelah masuk beberapa toko, tetap tak ada.

Saya tak sempat mencari dan membelinya di Padang. Saya juga tak ngotot mencarinya karena ingat masih punya 7 tablet parafin yang sama efektifnya dengan gas butana.

“Nanti pakai aku punya aja bang,” kata Johan. Johan memang andalan.

Johan adalah pemandu di Gunung Kerinci. Semua mengenalnya sebagai Johan Kerinci. Seperti yang lain-lain, awal saya berteman dengannya lewat facebook. Johan membantu saya mengepaskan tanggal kapan mesti tiba di Padang.

“Kebetulan aku ada tamu dari Malaysia, bila abang mau ikut, bisa tu,” terangnya menyebut tanggal. Saya setuju, dan mengambil penerbangan sehari lebih dahulu daripada tamu-tamu Johan itu.

***

Kami memasuki Kabupaten Kerinci, Jambi, setelah hari gelap. Bulan jelang purnama kemudian mulai menerangi malam. Di sebelah kanan di timur jalan, tampak siluet Gunung Kerinci. Gunung itu menjulang sendirian bermandi cahaya bulan.

Para kawan Malaysia itu berdecak-decak dan berseru-seru dalam bahasa melayu yang riuh. Para perempuan yang tertidur pun terbangun. Mobil melintasi Desa Kayo Aro, melewati patung harimau sumatera tempat para pendaki dan pengunjung Kayo Aro suka berfoto, dan terus naik ke pemukiman ramai dan padat di perbukitan.

Untuk tamu Malaysia-nya ini, Johan tidak mengantar mereka ke basecamp Kerinci miliknya, tapi terus hingga ke rumah permanen berwarna abu-abu yang megah meski ada di tepi jalan sempit dan pemukiman padat.

“Saya pinjam fasilitas yang layaklah,” kata Johan tersenyum.

Begitu kami tiba, Johan langsung ke dapur dan menyalakan kompor merebus air. Ia menyilakan kami beristirahat di ruang tamu sambil menghamparkan karpet tebal di ruang tengah. Lalu ia keluar lagi dengan naik motor. Tak lama, ia datang dengan beberapa kantong plastik berwarna putih.

“Kita makan dulu ya bang,” kata Johan. Amboi, tahu aja kamu Jon. Kantong-kantong plastik tadi berisi lauk ternyata. Dan tetap ada ikan, kawan. Amazing, bukan.

Sementara dia pergi tadi, air sudah mendidih dan para perempuan membuat teh panas seceret besar. Para lelaki menggeser sedikit beberapa mebel sehingga ruang tengah benar-benar lapang untuk tempat istirahat 7 orang.

“Kawan perempuan bisa tidur di kamar,” kata Johan. Bertambahlah lapang ruang tengah itu.

Air sudah terlalu dingin untuk mandi. Setelah gosok gigi, cuci muka, tangan, dan kaki, Baba cs merebahkan diri dan cepat tertidur. Saya masih sempat menulis sebentar, memanfaatkan hening suasana, namun segera juga mengantuk dan memejamkan mata terasa betul nikmatnya.***

Ikan, Rahasia Kecerdasan Urang Minang

Posted on

liputan6.com

Sepuluh hari sebelum tahun baru 2016, saya tiba selepas magrib di Bandara Minangkabau. Meleset jauh dari jadwal sebab penundaan di Bandara Soekarno-Hatta di Jakarta. Lelah dan lapar, longgar, dan sendirian. Ini bagian pertama.

Ini pertama kali saya ada di Bandara Minangkabau setelah beberapa tahun. Bandaranya sudah berubah. Seorang kawan, H Makmur, sudah memberikan informasi yang saya harus tahu bila tiba di Bandara itu, seperti tentang bus Damri dan Tranex yang melayani angkutan dari bandara ke kota.

Tapi, dari pintu keluar terminal ini, tidak terlihat keberadaan taksi. Apalagi yang dikatakan H Makmur soal bus Damri dan Tranex, penyedia angkutan murah ke Padang.

“Sudah, 15 (limabelas) aja sampai kota,” kata seorang anak muda calo angkutan, tak jauh dari depan pintu keluar terminal, sambil merendengi saya yang mendorong troli berisi carrier, ransel berisi perlengkapan dan bekal saya di gunung nanti.

Limabelas? Saya membayangkan Rp15.000. Murah. Mungkin ongkos buat satu orang setelah dibagi bersama beberapa orang lain.

Baiklah. Sekali lagi, saya sudah lelah dan lapar.

Sebentar kemudian saya sudah duduk di kursi depan di sebuah mobil avanza. Carrier dan ransel daypack saya di kursi belakang. Ya, ini taksi gelap. Tapi kok tak jalan-jalan?

“Sebentar ya bang. Abang mau ke mana?”

“Andaleh. Kita menunggu siapa? Penumpang lain?” Saya tidak keberatan berbagi tumpangan dengan penumpang lain, yang artinya juga berbagi ongkos.

Tapi tidak ada penumpang lain.

Belum ada jasa transportasi online di Padang ketika itu. Mungkin sekarang juga belum.

Si anak muda calo datang. Rupanya minta persennya. Si sopir menoleh kepada saya. Loh?

Lelah dan lapar saya mendadak hilang dan jadi sadar sepenuhnya. Saya memaki-maki dalam hati sambil berpikir cepat. Saya kesal tapi juga tak ingin keluyuran tidak jelas di bandara dengan manusia-manusia yang saya tak kenal dengan carrier yang berat dan ransel tambahan di depan.

“Berapa?” tanya saya. “Semuanya.”

“Rp150 ribu buat mobil, …”

Saya merogoh saku dan mengeluarkan uang sejumlah itu. Setidaknya jumlah itu tepat sesuai yang saya anggarkan. Kesal saya hanya sebab belum lagi layanan diberikan, ongkos sudah diminta. Uang persenan calo kan tanggungjawab sopir. Kalau belum punya uang, nantilah. Kan mereka akan selalu ketemu. Etika bisnisnya di mana?

Saya kembali merasa lelah dan lapar. “Ayo jalan,” kata saya. Kali ini dengan suara tegas.

***

“Nanti Zul yang jemput, tunggu aja di depan gang,” kata H Makmur.

Saya lupa nama gangnya. Seturun dari taksi avanza gelap itu saya menunggu di ATM BNI di Andaleh. Tak lama, Zul muncul dengan motornya dari sebuah gang di seberang jalan.

“Mau langsung makan, atau taruh tas dulu?” tawar Zul. Ia bisa membaca kondisi perut orang dari raut muka rupanya, hahaha. Walau begitu, saya pilih menaruh tas dulu di kantor AJI Padang, masuk kira-kira 300 meter ke dalam gang yang dibeton rapi itu.

Hendra Makmur dan beberapa pengurus lain masih ada, tapi sudah mau pulang. Hendra jurnalis Media Indonesia dan dulu Ketua Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Kota Padang di periode sebelumya. Saya bertemunya di beberapa acara AJI di mana-mana tempat. Kita bersalaman erat dan tertawa atas beberapa hal selama beberapa menit.

“Kau makanlah lalu istirahat. Gampang nanti sepulang dari Kerinci kita ngobrol lagi,” katanya. Tentu saja.

Zul mengajak saya ke tempat dia biasa makan. Warung nasi untuk mahasiswa di tepi jalan yang ramai. Dengan lauk ikan goreng dan sayur nangka dan daun singkong tumbuk berkuah santan, saya makan dengan lahap di bawah televisi yang menayangkan sinetron. Makan di warung padang, di Padang, oleh orang Padang, dikelilingi orang-orang Padang. Onde mande, sedapnyooo.

“Lamak banoo,” koreksi Zul, tertawa.

“Ah, tak apo lah Zul, hahaha.”

***

Saya menunggu Johan di depan ATM di mana Zul menjemput saya kemarin. Tak lama dia datang dengan mobil APV yang sudah penuh. Hanya ada satu tempat kosong di belakang.

“Apa kabar, Bang? Lama nunggunya? Ini kawan-kawan dari Malaysia, dan kita makan dulu ya, …” kata Johan yang duduk di depan.

Makan lagi, hehehe. Begitulah. ‘Makan dulu’ memang bagian dari kenangan terbaik saya dalam kunjungan ke Sumatera Barat dan Jambi ini. Setiap waktu makan adalah spesial, karena memang makannya spesial selalu, walaupun kalau kalian memperhatikan, yang saya pilih untuk makan hampir juga sama selalu; nasi dengan lauk ikan. Tak pernah ayam atau bahkan rendang yang jadi favorit orang sedunia itu.

Well, bagi saya, adalah jelas pemegang hegemoni kuliner di Sumatera ini memang orang Sumatera Barat. Dan saya menyukai dan merasakannya spesial karena kesukaan saya makan ikan tetap dimanjakan dengan berbagai masakan di berbagai tempat di Ranah Minang.

“Karena walaupun jauh di gunung, seperti di Bukittingi, orang selalu punya empang ikan di depan rumah. Mereka pelihara ikan mas, ikan mujair,… ” kata Bagja, kawan sepedaan saya di Ubud, Bali, orang Minang yang separo hidupnya dihabiskan di Bandung, Bogor, Washington, Balikpapan, Sorong, dan tempat-tempat lain di Indonesia, Amerika Serikat, dan Meksiko.

Itu juga barangkali rahasia kecerdasan orang Minang sehingga melahirkan antara lain Bung Hatta, Tan Malaka, Buya Hamka, Tulis Sutan Sati, Marah Rusli, Pendekar Sutan, serta Midun dan Maun. Konsumsi ikan yang banyak, meskipun jauh dari sungai dan laut.

“Oh kan ada Danau Maninjau,” kata Bagja, menyebut tempat asalnya.  Ada Danau Singkarak juga.

Itu cukup menyaingi sungai, rawa dan danau di Kalimantan yang ikan-ikannya menjadi darah dan daging saya. ***