Di Ujung Malam

Posted on Updated on

Bulan purnama 31 Januari 2018, bulan purnama kedua di bulan Januari, setelah bayangan Bumi menutupinya selama 3 setengah jam. noviabdi

untuk anak alam semesta, meski kita kan terpisah seribu tahun cahaya

 Kadang-kadang saya terdampar di kota-kota. Dan jatuh cinta.

Di depan hotel tempat saya menginap kami makan tahutek1, makanan sederhana dan murah tengah malam. Kami duduk berhadapan di pojok warung yang terang benderang, saling tersenyum, dan berbicara Bahasa Inggris.

Dia bercerita masa lalunya. Saya mendengarkan dengan prihatin. Tentang ayah ibu yang tidak akur, tentang ayah tiri yang dianggapnya jahanam, tentang kekerasan hati, tentang anak yang diabaikan sekaligus juga dibebani harapan, …

“Mom was a hard person,” katanya. Saya menatap matanya. Setelah beberapa lama, saya mengalihkan pembicaraan.

“I have something for you, …” kata saya.

Bersisian kami berjalan dalam temaram lampu jalan dan beranda hotel. Di dalam lift kami  bertatapan lagi. Tanpa suara.

Pintu lift terbuka, dan saya genggam tangannya. Bukan tangan lembut perempuan lemah, tapi tangan yang tegas seorang pejuang, walaupun kecil dan terasa rapuh. Kami berjalan bergandengan. Saya berharap kamar saya ada nun jauh di ujung lorong itu.

“How old are you?” dia bertanya.

“I was born few years after The Beatles broke up, a few months after big riot in Jakarta.”

Dia tertawa kecil. Saya tahu mengapa. Ketika saya mulai berkuliah dengan kepala plontos, perempuan ini baru saja memulai hidupnya sebagai bayi yang cantik dengan mata cokelat tua yang cerah.

Saya membuka pintu dan kami masuk. Ranjang besar tunggal dengan sprei putih di tengah kamar itu tampak hangat. Lampu kuning yang lembut bersinar dari tepi-tepinya.

“Would you like to stay with me? We can talk all night long.”

Dia tak menjawab. Tersenyum.

Dari tas sandang besar, saya mengeluarkan hadiah kecil yang sudah berbulan-bulan sebelumnya saya janjikan.

“Ah, warnanya pink, …” ia tertawa. Katanya, tak pernah ada barang berwarna pink dimilikinya. Kaus atau t-shirt miliknya, bra miliknya, … hampir seluruhnya berwarna hitam. Ia orang pergerakan.

Kami berpelukan dan berciuman. Perutnya yang ramping terasa kencang. Napasnya membara.  Ada tato di pundak dan di dadanya. Seluruh tubuh mungilnya tenggelam dalam lingkaran lengan saya.

“You are so big,…” ia berbisik. Umhh…

***

Hidup kami mulai bersentuhan beberapa bulan sebelumnya. Kami berkenalan di kota yang lain yang secara kebetulan kami kunjungi bersama dan pada saat yang sama. Kebanggaannya berbeda daripada perempuan dari sebelah barat Indonesia2.

“I have small boobs and dark skin,” katanya.

“I love your small boobs and your dark sweet skin,” kata saya. Dia tersipu.

Lalu kami berbicara tentang keinginannya menjelajah timur Indonesia, ke Flores, Timor, mungkin sampai Papua. Saya cerita tentang rak buku yang saya buat dan akan ada sofa empuk beserta bantal-bantal yang terhampar di depannya.

Juga tentang topik-topik yang bagi umumnya orang sudah selesai. Para aktivis memang gemar mempertanyakan hal-hal yang sudah baku dan mencoba memberi perspektif baru. Atau memaksakan perspektif itu. Kadang-kadang, sambil telentang di tempat tidur, saya merasa diuji oleh pertanyaannya.

Saya menjawab dengan jawaban orang lain. Saya terlatih dengan itu. Dia tahu.

“Your own answer, please, …”

“So far only you asking my own opinion. I agree in some parts with you, and disagree in some others. But I think, it’s not important, …”

Dia juga sesekali membuat pengakuan yang mendengarnya bisa membuat kening dan hati berkerut.

“I am the B in …,” katanya.

“Shhh, dear … “ saya memotong, menaruh telunjuk di bibirnya, memejamkan mata, dan menyambung “…and I just wanna be with you.”

Dia memang sedang cantik-cantiknya.

Muhammad Istiqamah (Is), vokalis dan gitaris Payung Teduh ini memberi pengantar yang jelek untuk lagu itu di acara ini, namun saya tidak menemukan ada rekaman lain Payung Teduh yang memperlihatkan reaksi penonton yang begitu alami seperti di dalam video ini.

***

  1. makanan yang terdiri dari tahu, lontong, kecambah, lalu dilabur saus kacang yang banyak dan kemudian diberi remukan kerupuk. Saus kacang itulah kunci nikmat tahutek sebab Anda bisa mengatur rasanya di situ. Kepada penjualnya, yang kebanyakan berasal dari Jawa Timur, Anda bisa minta cabe yang banyak. Tahutek ramai dijual mulai selepas magrib hingga tengah malam lewat sedikit.
  2. Ini survai ngawur saja oleh saya, dibuat untuk keperluan cerita ini, dan hanya berdasar pengamatan saja pada pernyataan dan selera kawan-kawan saya yang terbatas—umumnya lelaki (indonesia), dan perempuan (indonesia) hari ini, menyukai dan kepingin seperti para penyanyi girls’s band korea, yaitu berkulit terang—kalau bisa pucat—berambut lurus, dan selera lama lelaki yang bahkan bisa diliht dari relief Candi Borobudur; perempuan berpayudara besar—selain berkaki jenjang seperti belalang (ini ala Korea atau Taiwan lagi). Itu sebabnya (masih) susah Anda temukan di televisi kita perempuan yang berkulit gelap menjadi peraga atau berakting untuk suatu produk, atau bahkan presenter—meski yang terakhir ini sudah diembel-embeli ‘eksotis’ sekali pun dan nyata-nyata para lelaki kaukasus menyukainya.

2 respons untuk ‘Di Ujung Malam

    Dijah said:
    Maret 20, 2018 pukul 3:39 pm

    W O W.. 😀 😀
    Penasaran am dgn si Dia…
    Semoga apapun itu semoga saling membaikkan dan melengkapi..

    Mimpi-Mimpi yang Sama « noviabdi25 said:
    Mei 24, 2018 pukul 7:15 am

    […] membaca terjemahan yang dibuat Google Translate untuk Di Ujung Malam dan Duhai Kekasih-Kekasih. Ian membantunya sedikit-sedikit di bagian yang Google rancu […]

Tinggalkan komentar