Sampah Mengalir Sampai Jauh

Posted on Updated on

ASUS ZENFONE 6/novi abdi
Pepohonan pinus yang menjadi hitam setelah terbakar di tepi danau Segara Anak di kawah Gunung Rinjani di lereng ke Senaru di  ketinggian 2.008 m dpl. ASUS ZENFONE 6/novi abdi

Di rimba Pegunungan Meratus, jalan untuk kembali ke peradaban manusia adalah mengikuti jalan logging atau jalan para penebang kayu dan pemburu. Di Rinjani, kita berjalan mengikuti ceceran sampah.   Bagian kelima, bro.

Setelah menyisir danau selama 45 menit.  Jalan setapak di sisi danau ini menuju ke bukit yang ditumbuhi alang-alang berwarna kuning di sana. Dari sini terlihat jalan itu naik mendaki. Bukit itu sendiri seperti tanjung besar yang menjorok ke tengah danau. Tiga pemancing yang melewati saya tadi kini berhenti di dekat kaki bukit itu, dan mulai kembali memancing.

Saya melompati batu-batu besar di tepi danau dan mulai mendekati mereka.

“Itu ya, jalan ke Senaru?” saya bertanya kepada yang terdekat.

“Oh, … masnya mau ke Senaru. Bukan mas. Itu cuma ke atas bukit itu aja. Tidak ada jalan lagi. Masnya kelewatan…” katanya.

“Kelewatan? Di mana?”

“Itu mas, dekat dua orang yang mancing di sana,” tunjuknya.

Dua orang yang ditunjuk itu saya lewati kira-kira 5 menit sebelumnya. Wah.

“Oke, terimakasih yaaa…”

Di belakang 2 pemancing yang tinggal di tenda biru berdiri hutan yang terbakar. Pohon-pohon bergaris tengah seukuran galon air dan paha orang dewasa tampak sengsara dengan cabang-cabang yang hitam dan daun-daun kering meranggas. Saya tidak melihat ada jalan setapak.

“Kalau dari sini sedikit ke atas mas, jalannya. Nanti ketemu,” kata salah satu dari mereka. Keduanya mendaki Rinjani dan sampai di Segara Anak bukan lewat Sembalun maupun Senaru, melainkan dari Torean.

Baiklah. Setelah 5 menit berikutnya berjalan di atas abu dan arang, saya bertemu jalan itu. Melintang dari barat ke timur, dan di arah ketinggian, berbelok ke kanan.

Di sini ternyata awal jalan untuk ke rim Senaru dari arah shelter di tepi Segara Anak, danau di kaldera Gunung Rinjani, di ketinggian 2.600 m dari permukaan laut. ASUS ZENFONE 6/novi abdi
Anda lihat muara jalannya? Awal jalan untuk ke rim Senaru dari arah shelter di tepi Segara Anak, danau di kaldera Gunung Rinjani, di ketinggian 2.008 m dari permukaan laut. ASUS ZENFONE 6/novi abdi

Awal jalan itu di tepi danau ternyata saya lihat dengan jelas sebelumnya. Saya bahkan memotretnya. Sebelum ketemu dua pemancing dari Torean ada tumpukan batu di tepi danau. Saya memotret tumpukan batu tersebut tanpa tahu kenapa. Saya lihat di foto, dari tempat saya berdiri memotret,  terlihat jelas muara jalan itu, kemudian jalannya sendiri, berupa garis memanjang putih di antara abu dan batang-batang pohon yang kehitaman.

Tapi saya malah kelewatan.

Begitulah gunung kadang-kadang, Saudara. Atau begitulah kadang-kadang kita di gunung, brader.

 ***

 Dari Segara Anak, jalan ke gigir atau rim Rinjani di sisi Senaru berada dalam naungan pohon-pohon. Jalannya menanjak perlahan di awal di bawah hutan konifer di dekat danau, dan semakin tinggi semakin curam. Setelah melewati bagian yang terbakar di dekat danau, terlihat rumput-rumput juga tumbuh subur di tanah dan di sela batuan.  Semakin tinggi juga pohon-pohon semakin jarang.

Saya jalan santai dan menikmati semuanya. Termasuk beban di pundak yang total beratnya 30 kg. Target saya adalah sampai ke rim, itu saja. Mau sampai jam berapa, saya serahkan pada kaki ini.

Ketika baru melewati  tanjakan dan sampai di jalan datar lagi, sepasang pendaki Inggris dan pemandunya melewati saya. Mereka menyapa sekilas dan terus bergegas. Saya memotret mereka ketika baru akan memulai tanjakan itu.

“Sebentar hujan mas,” kata Julian ‘James’ Manggila, si pemandu. Saya melihat ke langit yang terlindung pepohonan. Bukankah sejak dari Segara tadi cuaca memang mendung?

Sudah lama saya tidak lagi mengkhawatirkan cuaca. Mau hujan, hujanlah. Mau panas, panaslah. Mau malam, silakan malam. Saya bahkan punya rencana cadangan agak gila, seandainya karena kelelahan, atau hujan terlalu lebat, malam terlalu gelap, dan saya harus menginap di jalan di lereng itu, ya menginaplah di situ. Tinggal cari tempat yang agak lapang untuk merebahkan badan dan terlindung dari angin dan hujan. Tidak pernah ada yang bermalam di lereng Senaru setahu saya.

Saya membuat rencana cadangan itu dengan hitungan kasar kecepatan jalan saya, kesulitan medan, dan jarak yang ada. Saya hampir yakin saya akan kemalaman di jalan.

Satu alasan mengapa beban saya begitu berat (bahkan oleh para porter carrier dan ransel saya disebut berat) adalah perlengkapan yang saya bawa. Ada jaket hujan, ada payung, ada pakaian ekstra.

Ya payung, sobat. Payung kecil berwarna merah yang sangat bermanfaat melindungi diri dari hujan dan panas.

Sebagai imbalan dari beban itu adalah saya bebas dari tekanan jadwal. Ingat ketika saya baru berangkat summit attack menjelang pukul enam pagi dan baru tiba kembali di Plawangan Sembalun pukul setengah lima sore. Perjalanan yang tidak lazim karena orang ingin melihat matahari terbit di Puncak Rinjani sementara saya hanya ingin ke Puncak Rinjani.

Di sisi lain, seorang yang sendirian memang tak punya banyak pilihan.

 ***

Ketika saya bertemu mereka lagi, Sam Smith dan Chloe dan James sang pemandu tengah istirahat. Merek duduk-duduk di batu besar di tempat yang agak datar dan minum.

JPADRI1503083
Julian James Manggila, Chloe, dan Sam. ASUS ZENFONE 6/novi abdi

Sam bekerja untuk industri film. Chloe desainer. Bertiga kami difoto oleh James si pemandu dengan Zenfone 6. Mereka lanjut jalan, saya gantian istirahat sejenak. Mungkin ada 10 menit. Saya makan satu tomat dari Metarum dan seruas cokelat.

Tempat  istirahat kami itu rupanya tempat datar yang nyaman terakhir Jdari arah Segara Anak. Setelah itu, jalan berlaku seperti tangga. Bila di peta topografi, garis konturnya yang menandakan perubahan ketinggian setiap 20 meter itu akan rapat sekali.

Hujan yang dikatakan Manggila pun datang.  Langsung lebat sehingga saya hanya sempat menarik payung dari kantong di sisi daypack.  Saya meniti tangga batu-batu sambil memperhatikan jalan. Air yang mengalir membawa turun sampah-sampah kecil seperti bekas bungkus permen dan cokelat. Saya jadi menyadari sesuatu lagi, jalan yang benar itu adalah jalan yang ada sampah di jalurnya. You can follow the trash.

Sungguh ironi bukan. Dulu, di rimba di sisi timur Pegunungan Meratus, jalan untuk kembali ke peradaban manusia adalah mengikuti jalan logging atau jalan para penebang kayu dan pemburu. Setelah 3 hari (dari 5 hari perjalanan) menjelajah hutan tanpa jalan setapak di bawah hujan yang konsisten, saya terharu ketika menemukan jalan HPH. Saya dan Opik tiba di ujungnya, dimana pohon-pohon menghilang  selebar  6 meter dan langit terbuka.

Di sini, di Rinjani, kita berjalan mengikuti ceceran sampah.

***

Hujan sudah berhenti ketika saya sampai di puncak bukit  yang ditutupi oleh rumput-rumput kuning, sedikit pohon, dan batu-batu besar. Di punggung bukit yang datar dan meluas itu, jalan setapak seolah menghilang setelah keluar dari celah pepohonan di lereng curam.

Di muara jalan turun itu, saya melepaskan ransel dan segera mengenakan jaket hujan. Ini untuk jaga-jaga seandainya hujan turun lagi nanti. Setelahnya baru istirahat sejenak, minum, makan tomat dan cokelat.

Pukul empat lima puluh menit, saya melipat payung dan mulai berjalan lagi. Di jalan setapak yang menghilang itu, ceceran sampah sekali lagi menjadi petunjuk kemana harus melangkah. Pertama sampah-sampah itu berceceran ke kiri. Setelah seratus meter di antara batu-batu besar yang digrafiti, sampah ditemukan mulai menanjak lagi di kanan.

Bukit datar tadi mulai saya tinggalkan di bawah. Kemiringan lereng ini mencapai 60-70 derajat. Jalan setapak selebar setengah meter zig zag di jalan tanah dan batu-batu sambil melipir ke kiri mengikuti lingkaran danau dan dinding tebing kawah.

Untuk menuju Rim Senaru, di kanan  jalan setapak ada dinding tebing, di kiri jurang yang makin curam.

Pada satu titik di lereng yang masih berumput dan berpohon-pohon, jalan di tebing habis. Sambungannya ada satu meter di atas kepala, sementara tidak terlihat ada tapak tangga. Yang ada hanya pegangan dari besi sekaligus penutup jalan yang habis.

Tanpa beban sungguh tidak sulit mengangkat badan menuju sambungan jalan itu. Apalagi bila berkawan. Saya yang sendirian dengan beban ini tertegun, bagaimana caranya?

Ransel dilempar ke atas? Terlalu berat, bisa jatuh dan tak bisa diambil lagi di jurang sana. Saya lepas, lalu naik sendiri tanpa beban, baru kemudian ransel digeret naik dengan webbing yang saya punya…rasanya juga terlalu berat. Baik bobotnya, ukurannya, …

Saya meneliti lagi dinding tanah dengan pegangan besi itu. Ternyat ada sedikit lubang dan tonjolan batu yang bisa dimanfaatkan untuk pijakan.

Baiklah. Saya menarik napas mengumpulkan seluruh kekuatan. Dengan dua tangan saya berpegang pada besi pagar itu, lalu menarik badan sekuat tenaga ke atas. Pada langkah kedua, kaki kanan bertumpu di tonjolan batu. Saya berpegangan dengan tangan kiri besi, dan tangan kanan melepas ransel di  depan yang menghalangi pandangan. Ransel itu saya tolak ke depan, membawa seluruh beratnya dan berat saya ke dinding tanah miring itu.

Saya kini dalam posisi merangkak di awal jalan setapak naik. Satu sentakan dari tumpuan kaki kanan melemparkan badan saya ke bagian yang aman dari jalan, di mana saya menjatuhkan diri dengan punggung terlebih dahulu.

Ransel-ransel yang jadi pemberat saya itu juga jadi penyelamat saya. Karena beratnya mereka, kami jadi tak bergerak begitu mencapai tanah. Saya berpegangan lagi pada besi untuk membantu badan berdiri.

Dari situ, pemandangannya ternyata indah  sekali. Langit sore baru selesai hujan. Air danau di bawah sana berwarna hijau, dan di bagian yang  sempit di kanan Gunung Barujari berwarna kuning.  Gunungnya sendiri berwarna kecokelatan dengan langit putih tipis. Ganjaran untuk usaha yang setimpal.

Puncak Rinjani dan Segara Anak dari Senaru
Puncak Gunung Rinjani (3726 mdpl) dan danau Segara Anak (2.008 mdpl) serta lereng Gunung Barujari (2.296 mdpl) difoto dari ketinggian 2.300 m di lereng Senaru, Sabtu 8 November 2014. ASUS ZENFONE 6/novi abdi

Setelah rintangan ini, jalan setapak menanjak hingga ia berbelok ke kiri, tetap mengikuti tebing kawah. Lalu ada jalan datar yang panjang  dan menanjak lagi di batu-batu.  Sekali lagi saya merasa menjadi anggota rombongan dwarf, para kurcaci yang ingin merebut kembali kerajaannya di Gunung Sunyi yang dikuasai Naga.

Selain sampah dan pagar besi hijau itu, grafiti juga jadi petunjuk bahwa kita berada di trek yang benar. Saya bertanya-tanya, siapa yang masih punya waktu dan energi untuk mencoretkan namanya, nama pacarnya, nama semua orang di grup perjalanannya, nama sekolahnya, nama kampusnya, nama kotanya, nama geng-nya, tanggal-tanggal, semboyan … di batu-batu dan dinding tebing.

Setelah tanjakan terjal, ada tangga dari besi. Melihat tangga itu, saya kira saya sudah sampai di gigir gunung. Hati pun gembira. Setelah sampai dan dilewati, ternyata, … masih ada lagi tanjakan berikutnya.

Begitu terus beberapa kali.  Jalan di Gunung di sisi Senaru ini benar-benar penuh pemberi harapan palsu. Demikian, saya berusaha untuk tidak kecewa. Kecewa itu makan energi dan menghabiskan semangat dan mengecilkan hati. Jadi, setiap berlalu satu puncak tanjakan yang dikira sampai gigir Gunung, dan ternyata masih ada terusannya, saya tertawa. Saya juga memuji diri sendiri, “ayo boi, semangat dan kuat…”

Setidaknya satu tanjakan sudah berlalu dan saya makin dekat dengan tujuan.

Hari mulai gelap. Ketika alarm waktu magrib waktu Indonesia Tengah di Samsung B2710 saya berbunyi,  saya pas tiba di satu tanah datar setelah tanjakan batu. Istirahat lagi sejenak. Tomat lagi, cokelat lagi, minum seteguk dua air lagi. Saya duduk sambil menyetel headlamp, lampu senter yang ditaruh di jidat.

Ketika saya mulai jalan kembali , ada hiburan kecil: jalannya turun. Tapi, setelah 2 menit, saya jadi waspada. Kok turun? Dan mana sampahnya?

Saya berhenti sejenak, melihat sekeliling, orientasi . Kiri jurang, kanan tebing, … lalu kilatan di tanah, pantulan cahaya senter saya pada plastik keperakan bekas bungkus permen…

Itulah patokannya bila ke arah Senaru: rapat ke tebing dan jalan menanjak. Kalau turun dan menjauhi tebing, itu jalan sesat.

Pukul tujuh malam, sambil berjalan dalam kelam, saya melihat sinar lampu di ketinggian di kejauhan di sisi kiri, di seberang jurang.  Titik cahaya itu bergerak, lalu berdiam lama. Saya berhenti lagi dan melihat ke titik cahaya itu. Saya merasa kami saling bertatapan.

Saya mengedip-ngedipkan senter. Dia yang di seberang sana membalas. Ha ha ha, saya tersenyum. Itu komunikasi pertama dengan orang lain sejak terakhir bertemu Sam, Chloe, dan Julian ‘James’ Manggila.

Ini para dwarf (kurcaci) rombongan Thorin Oakenshield. Nama-nama mereka adalah Bombur, Bifur, Bofur, Oin, Gloin, Balin, Dwalin, Fili, Kili, Ori, Nori, Dori. Kalau ditambah Novi, masih pas bukan, hehehe.
Para dwarf (kurcaci) rombongan Thorin Oakenshield dari film Peter Jackson The Hobbit dan berdasar novel saga JRR Tolkien dengan judul sama. Nama-nama mereka adalah Bombur, Bifur, Bofur, Oin, Gloin, Balin, Dwalin, Fili, Kili, Ori, Nori, Dori. Kalau ditambah Novi, masih pas bukan, hehehe. (imamovienerd.wordpress.com)

Dengan hati senang, langkah terasa ringan kembali. Lampu senter saya menyoroti dinding tebing yang dicoreti banyak grafiti. Jalan menikung  ke kiri, disambung tanjakan yang terjal ke kanan dengan pegangan besi pagar yang dingin.

Lalu terdengar suara tawa yang riuh.

Beberapa saat sebelum azan Isya di Balikpapan, saya mencapai rim Rinjani di sisi Senaru. Saya terduduk kelelahan di belakang 3 buah tenda berwarna oranye yang didirikan berbanjar mengikuti panjang gigir gunung.  Bahagia rasanya ketika ada tanah datar lebih dari setengah meter lebarnya, dan tidak ada dinding  tebing dan jurang yang siap menelan kelengahan kita.

 ***

 

Satu respons untuk “Sampah Mengalir Sampai Jauh

    Di Dalam Kabut di Bawah Hujan « noviabdi25 said:
    Januari 13, 2019 pukul 3:05 am

    […] [8] Di Rinjani saya juga melakukan hal yang sama, hanya saja untuk naik. Bacalah Sampah Mengalir Sampai Jauh. […]

Tinggalkan komentar